Monday, January 27, 2014

Ir. Djoko Kirmanto, Dipl. HE

Ir. Djoko Kirmanto, Dipl. HE Menteri Pekerjaan Umum

Dia kembali berkiprah ke habitatnya. Mantan Sekjen Depkimpraswil yang mengawali karir di Departemen Pekerjaan Umum (PU) sebagai Site Engineer Pembangunan Pondasi Jembatan Karang Semut, Yogyakarta tahun 1969-1971,ini dipercaya menjabat Menteri PU Kabinet Indonesia Bersatu. Dia dan segenap karyawan menyambut gembira kembalinya nama departemen ini, DPU.

Djoko Kirmanto, bagi kalangan pejabat /karyawan di lingkungan Departemen ini adalah sosok yang bekerja keras. Dia mulai meniti karir di Departemen PU sejak 1970 menjadi pegawai harian pada Prosida Ditjen Air. Di kalangan rekan-rekannya di Dep. PU, pria kelahiran Pengging, Klaten, Jawa Tengah, tanggal 5 Juli 1943 dikenal akrab dengan rekan sejawat dan anak buah dan selalu peduli terhadap masyarakat bawah.

Nama: Ir. Djoko Kirmanto, Dipl. HE
Lahir: Pengging, Klaten, Jawa Tengah, 5 Juli 1943
Jabatan: Menteri Pekerjaan Umum RI
Agama: Islam
Istri: Sri Suwarningsih
Jumlah Anak: Tiga orang

Pendidikan:
= S-2 Pasca Sarjana Land and Water Dev. IHE-Delft, Netherland, 1977
= S-1, Teknik Sipil Universitas Gajahmada (UGM) Yogyakarta, 1969

Pengalaman kerja:
= Dirjen Pengembangan Permukiman Depkimpraswil, 3 Januari 2001-21 Oktober 2004
= Asisten I Bidang Pengembangan Pembangunan Perumahan Negara, 1997-1999
= Direktur Bina Program, Direktorat Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum, hingga 1997
= Direktur Bina Program, Departemen Pekerjaan Umum
= Inspektorat Wilayah, Departemen Pekerjaan Umum, 1992-1993

Alamat:
Departemen Pekerjaan Umum
Jalan Pattimura No. 20
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
Telp. (021) 722.2804

Sumber:
PDTI dan pkpps abplp <abplp@yahoo.com>

Posisi terakhir, Djoko Kirmanto sebelum pensiun pada November 2003 sebagai Sekjen Depkimpraswil di bawah Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Soenarno. Sebelumnya semasa Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah (Kimbangwil) yang dipimpin Erna Witoelar, Djoko Kirmanto menjabat sebagai Dirjen Pengembangan Permukiman mulai dari tahun 1999 sampai tahun 2001.

Ayah dari tiga orang anak ini menamatkan pendidikan terakhirnya di Land and Water Development IHE – Delft Belanda sehingga meraih gelar Dipl. HE, sedangkan di Indonesia Djoko mendapatkan gelar insinyur dari Tehnik Sipil Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Djoko yang beristrikan Sri Suwarningsih ini mengawali karirnya di Departemen PU sebagai Site Engineer Pembangunan Pondasi Jembatan Karang Semut, Yogyakarta tahun 1969 sampai 1971, kemudian menjadi Pegawai Prosida Ditjen Air.

Riwayat karirnya berturut-turut Asisten Perencana Proyek Irigasi Sadang Sulsel, Deputi Teknik Proyek Pekalen Sampean Jatim, Deputi Kepala Staf Teknik Proyek Irigasi IDA Jakarta. Pernah menjabat sebagai Pemimpin Proyek Banjir Jaya Ditjen Air, Inspektur Jenderal , Direktur Bina Program Direktorat Cipta Karya, serta Asisten I bidang Pengembangan Pembangunan Perumahan Negara.

Setelah pensiun, Djoko masih sempat menjabat sebagai Dewan Pengawas (Dewas) dari BUMN di bidang perumahan, Perum Perumnas. Di samping itu juga pernah menjabat sebagai Komisaris Bumi Serpong Damai.
Dalam karirnya, dia sangat perhatian pada sektor perumahan, serta merupakan salah satu yang mendorong pembangunan perumahan secara horisontal di kota-kota besar sebagai upaya mengurangai permukiman kumuh. Djoko dalam salah satu pertemuan dengan wartawan pernah mengatakan, timbulnya permukiman kumuh ditengah kota disebabkan warga yang ingin tinggal tidak jauh dari lokasi tempatnya bekerja. Akhirnya mereka membangun rumah di areal yang dilarang seperti bantaran kali karena harganya jauh lebih murah.

Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA

Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA
Menteri Agama Republik Indonesia (1983-1993)


Diplomat dan Pembaharu Islam
Masa kecil dilalui di desa kelahirannya Karanganom, Klaten, Jawa Tengah dalam keluarga sederhana dan taat beragama. Ayahnya almarhum Kiyai Haji Mughofir dan ibunya Byai Tas’iyah mendidiknya dengan ilmu agama. Ia sekolah di Madrasah Thanawiyah Al Islam di bawah asuhan Kiyai Ghazali, seorang ulama terkenal waktu itu. Suatu ketika ia pernah mengungkapkan masa kecilnya kepada para santri di Pondok Pesantren Kebarongan, Banyumas, Jawa Tengah, “Dulu, saya bersekolah tak mengenal sarapan, apalagi sepatu. Tapi tak pernah lalai.” 

Nama: Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA
Lahir: Desa Karanganom, Klaten, 7 November 1925
Meninggal: Jakarta, 23 Juli 2004
Agama: Islam
Isteri: Murni Sjadzali (Menikah 1950)
Anak: Muchlis (almarhum), Mustahdiyati, Mustain, Muhtadi, Mutiawati, dan Muhflihatun
Cucu: 14 orang
Ayah: Kiyai Haji Mughofir
Ibu: Byai Tas’iyah

Pendidikan:
= Madrasah Thanawiyah Al-Islam
= Pesantren Membaul Ulum
= Sekolah Tinggi Islam Mambaul Ulum di Solo tamat 1943
= University of Exeter, Inggris, ilmu politik dan hubungan internasional.
= Master of Art bidang Filsafat Politik dengan tesis Indonesia’s Moslem Parties and Their Political Concepts di Georgetown University Amerika Serikat (1959)

Pekerjaan:
= Guru SD Islam Gunungjati, Ungaran, 1944
= Perwira penghubung pada revolusi kemerdekaan
= Staf Seksi Arab/Timur Tengah Deplu (1950)
= Atase/Sekretaris III Kedutaan Besar RI di Washington, AS (1956-1959)
= Kepala Bagian Amerika Utara, Deplu (1959-1963)
= Sekretaris I, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Colombo, Sri Lanka (1965-1965)
= Kuasa Usaha, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Sri Lanka (1965-1968
= Kepala Biro, Tata Usaha Sekretariat Jenderal, Deplu (1969-1970)
= Bertugas di Kedutaan Besar Republik Indonesia di London (1971-1974)
= Kepala Biro Umum, Deplu (1975-1976)
= Duta Besar di Uni Emirat Arab, Bahrain dan Qatar (1976-1980)
= Direktur Jenderal Politik Deplu (1980-1983)
= Menteri Agama Republik Indonesia (1983-1993)
= Anggota Dewan Pertimbangan Agung (1993-1998)
= Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (1993-1998)

Karya Tulis:
(1) Islam dan Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran
(2) Islam: Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa
(3) Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?

Penghargaan, al:
= Bintang Mahaputra Adipradana dan Satyalencana Karya Satya Kelas II dari Pemerintah Indonesia
= Great Cordon of Merit dari Pemerintah Qatar
= Medallion of the Order of Quwait-Special Class dari Kuwait
= Heung in Medal-Second Class dari Korea Selatan

Alamat Rumah:
Jalan Bangka VII No.5-B Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Ia pun berkisah suatu ketika untuk menebus ijazah, karena ketiadaan uang, ibunya menjanjikan akan menjual gelugu (batang pohon kelapa) di depan rumahnya. Lalu setelah ia menebus ijazah, tiba di rumah ia kaget, karena gelugu masih tetap tegak berdiri. Sang Ibu ternyata menjual kainnya. “Lalu bagaimana kalau Ibu mau ganti kain?” Ibunya tenang menjawab, “Kan bisa memakai sarung punya Ayah.” Anak sulung dari tiga bersaudara ini pun tidak kuat membendung air matanya. Ia tersedu, bersimpuh di pangkuan ibunya.
Selesai SMP, ia melanjut ke Pesantren Membaul Ulum dan Sekolah Tinggi Islam Mambaul Ulum di Solo hingga tamat 1943. Ia semula bercita-cita sekolah di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir, tetapi tidak kesampaian karena ayahnya, Kiai Mughaffir–pemimpin pesantren kecil di Klaten, seorang ahli nahwu (tata bahasa Arab)–tidak mampu membiayai.

Batal kuliah di Universitas Al-Azhar, ia lantas mengajar di SD Islam Gunungjati, Ungaran, 1944, sampai pecah revolusi kemerdekaan, ia ikut bergabung dalam perjuangan kemerdekaan sebagai perwira penghubung antara Markas Pertempuran Jawa Tengah di Salatiga dan Badan Kelaskaran Islam.
Sehabis revolusi kemerdekaan, ia pindah ke Jakarta. Rajin keluar masuk perpustakaan, ia kemudian menulis buku berjudul ”Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam?” pada 1950. Buku ini mendapat perhatian publik dan kemudian dibaca Bung Hatta. Oleh Bung Hatta, buku pertamanya dinilai perlu dikembangkan kualitasnya karena tidak klise.

Buku ini pula membuat Bung Hatta tertarik pada Munawir muda ini. Lalu Bung Hatta memfasilitasinya memperoleh pekerjaan sebagai staf Seksi Arab/Timur Tengah Deplu (1950). Di departemen ini, harapannya untuk belajar di luar negeri terkabul meskipun tidak di Universitas Al-Azhar, tetapi di University of Exeter, Inggris. Di Inggris, Munawir mengambil kursus diplomatik dan konsuler serta mendalami ilmu politik dan hubungan internasional.

Kemudian ia menjadi Atase/Sekretaris III Kedutaan Besar RI di Washington, AS (1956-1959). Pada masa ini, ia menyempatkan diri melanjutkan studi di Georgetown University Amerika Serikat hingga memperoleh ijazah Master of Art bidang Filsafat Politik dengan tesis Indonesia’s Moslem Parties and Their Political Concepts (1959). Kemudian ia menjabat dan Kepala Bagian Amerika Utara, Deplu (1959-1963).
Selepas meraih gelar master itu, karir diplomat yang gemar mendengarkan musik ini makin cemerlang. Ia dipercaya menjabat Setiausaha Pertama, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Colombo, Sri Lanka (1965-1965). Lalu menjabat Kuasa Usaha, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Sri Lanka (1965-1968). Kemudian di tarik ke Jakarta menjabat Kpala Biro, Tata Usaha Sekretariat Jenderal, Deplu (1969-1970). Lalu bertugas di Kedutaan Besar Republik Indonesia di London (1971-1974), sebelum diangkat menjadi Kepala Biro Umum, Deplu (1975-1976).

Lalu diangkat menjabat Duta Besar di Uni Emirat Arab, Bahrain dan Qatar (1976-1980), sebelum ditarik kembali ke Jakarta menjabat Direktur Jenderal Politik Deplu (1980-1983). Kemudian diangkat menjabat Menteri Agama Republik Indonesia (1983-1993). Selepas itu, ia pun mengakhiri karir dan pengabdiannya pada negara sebagai Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan anggota Dewan Pertimbangan Agung (1993-1998).

Sebagai seorang negarawan dan ilmuan, ia amat berminat dalam mengembangkan ilmu Islam. Penguasaan dan pemikirannya menonjol dalam dua bidang yaitu Hukum Islam dan Fiqh Siyasi. Di antara karya ilmiah yang pernah dihasilkannya adalah (1) Islam dan Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (2) Islam: Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, dan (3) Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam. Buku ketiganya ini mendapat perhatian umum.

Ia dikenal seorang yang diplomat yang tenang, tulus dan pandai mendongeng. Seringkali ketika menyampaikan pemikiran dan gagasannya, ia menggunakan dongeng sebagai perantara. Suatu ketika, saat menjabat sebagai Menteri Agama, di depan para ulama Jawa Barat Munawir mengisahkan persahabatan antara petani dan beruang.

“Suatu ketika, beruang marah karena seekor lalat mengganggu tidur petani. Beruang mengambil batu besar dan kemudian menghunjamkannya ke dahi petani yang dihinggapi lalat. Siapa pun tidak meragukan kesetiaan beruang, tetapi kebodohannya membuat petani mati. Yang mirip beruang banyak terdapat di masyarakat. Berlagak membela agama, padahal mementingkan dirinya sendiri,” ujarnya.

Semasa menjabat Menteri Agama, Munawir telah membangun Departemen Agama menjadi departemen yang bergengsi. Ia juga tercatat sebagai menteri agama yang sangat memerhatikan pendidikan. Terutama dengan kebijakan mengirim mahasiswa untuk belajar di luar negeri.

Ia senang mendengarkan musik. Memiliki rekaman Tchaikovsky dan Beethoven, namun penggemar biduanita Mesir, Ummi Kalsum, ini merasa lebih at home dan in betul bila menikmati gambus.
Di mata para sahabatnya, ia seorang pemimpin pembaharu pemikiran Islam dan mempunyai banyak gagasan. Dialah yang menggagas pertemuan tahunan Menteri-Menteri Agama Negara Brunei Darussalam, Republik Indonesia, Malaysia dan Singapura. Ide dan gagasannya dalam kongres Menteri-Menteri Agama seluruh dunia di Jeddah pada tahun 1988, telah diterima beberapa negara, sehingga diadakan empat kali pertemuan tahunan untuk meningkatkan pembaharuan pemikiran perihal Islam di kalangan negara anggota.

Dalam pengabdiannya, ia telah mendapatkan sejumlah penghargaan, termasuk dari sejumlah negara sahabat. Antara lain, penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana dan Satyalencana Karya Satya Kelas II dari Pemerintah Indonesia, Great Cordon of Merit dari Pemerintah Qatar, Medallion of the Order of Quwait-Special Class dari Kuwati, dan Heung in Medal-Second Class dari Korea Selatan.
Selain Menag Said Agil Husin Al Munawar, sejumlah mantan pejabat dan tokoh yang hadir di rumah duka antara lain mantan Menteri Penerangan Harmoko, mantan Mendagri Rudini, dan mantan Menko Ekuin JB Sumarlin. Selama dirawat di rumah sakit, beberapa tokoh juga menjenguk. Bahkan, mantan Presiden Soeharto baru menjenguknya dua hari sebelum Munawir meninggal.

Bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh besar, diplomat santun dan pembaharu Islam. Mantan Menteri Agama (1983-1988 dan 1988-1993) dan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pertama (1996-1998), Prof Dr H Munawir Sjadzali MA meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, Jumat 23 Juli 2004 pukul 11.20. Jenazah mantan anggota Dewan Pertimbangan Agung (1993-1998), ini disemayamkan di rumah duka di Jalan Bangka VII No.5-B Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan dimakamkan di tempat pemakaman keluarga Giritama, Bogor, Jawa Barat, hari Sabtu 24 Juli 2004.

Pria kelahiran Desa Karanganom, Klaten, 7 November 1925, ini meninggalkan istri, Murni Sjadzali, yang dinikahinya pada 1950 dan enam anak, yaitu Muchlis (almarhum), Mustahdiyati, Mustain, Muhtadi, Mutiawati, dan Muhflihatun, serta 14 cucu. Ia sempat dirawat di rumah sakit tersebut sejak 8 Juni 2004, akibat serangan stroke dan komplikasi beberapa penyakit.

Dipublish pertama kali pada: Nov 21, 2008 @ 10:42